Tuesday, May 11, 2010

istana pasirku

Kubangun kastil kecilku dengan kedua tanganku. Kubangun menara-menaranya dan tembok kotanya, lengkap dengan parit di sekelilingnya.

Dia menuntun aku ke tempat ini. Tempat dimana aku menemukan pasir yang putih dan bersih, pantai yang indah dengan ombaknya yang tidak terlalu besar, ombak yang pecah di jauh sana, jauh dari tempatku membangun istana pasirku.

Aku merasakan kesenangan itu. Kesenangan kanak-kanak yang kudapat dari tiap menara yang berhasil kudirikan. Aku mulai menamai menara-menaraku. Yang ini kunamai karir, yang satu itu kesuksesan dan yang lain hubungan.

Aku larut dalam kesenanganku membangun istana pasirku dan kotanya. Dalam riangku, terkadang aku lupa pada dia yang membawaku ke pantai ini. Sesekali aku ingat. Ya, sesekali aku menoleh dan tersenyum padanya. Sesekali saja… dan hampir selalu terlalu singkat untuk melihat kasih di wajahnya yang lembut dan kedamaian sejati yang dipancarkannya.

Aku cuma kanak-kanak yang membangun istana pasirku dengan imajinasi yang juga kekanak-kanakan.

Pikirku, kastil ini harus kokoh dan istana ini tak boleh roboh. Maka kubangun benteng-bentengnya lebih tinggi dan tebal, ku gali lebih dalam parit disekelilingnya. Dia tersenyum melihat upayaku. Diusapnya keringat dari dahiku dan dielusnya rambutku… lagi aku menoleh padanya, dan lagi itupun terlalu singkat karena dengan segera aku kembali sibuk dengan karyaku.

Aku di puncak kesenangan itu ketika laut mulai pasang. Lidah gelombang-gelombangnya untuk pertama kalinya hampir mencapai istana pasirku. Lagi pikirku, kastil ini harus kokoh dan istana ini tak boleh roboh! Maka ku gali lebih banyak pasir dari paritnya dan ku bangun bentengnya lebih tinggi - dan gelombang itu pun datang.

Menoleh ku ke arah suara deburnya yang bergemuruh. Kurasakan desir lidah airnya ketika melewati betisku, naik hingga mencapai pangkal kakiku – terlepas dari ketidaksadaranku dan ketidaktahuanku dipegangnya pundakku erat hingga aku tidak terjatuh – dan disana aku berdiri melihat istana pasirku, yang kokoh dalam anganku dan tak bisa roboh dalam pikirku, luluh dalam satu sapuan ombak.

Sejenak kurasakan kecewa menyengat pedih kedua mataku. Kabur pandangku dalam genangan air mata kekecewaan. Tapi pasang harus datang.

Kali ini kupandang wajah dia yang membawaku kesini. Tak lagi sejenak, tidak setelah aku merasa aku tak berdaya. Pandangku masih kabur ketika aku untuk pertamakalinya menyadari betapa rapuhnya buatan tanganku. Tapi.. hei, apakah arti senyum diwajahnya itu? Perasaan bahagia dan rasa lega yang aneh tiba-tiba mengaliri sendi-sendiku yang dilemahkan duka. Bahagia, sekaligus juga malu. Malu ketika hatiku bertanya-tanya apakah Ia mau memaafkan aku atas kekurangpedulianku (jika bukan ketidakpedulianku) dan jauh lebih malu ketika senyumnya mengatakan bahwa ia bukan saja memaafkan, tapi juga melupakan segala kesalahanku. Harus kukatakan kebahagiaan yang kurasakan kini jauh lebih besar dari kesenangan yang kurasakan tadi .

Dia mengulurkan tangannya menyambutku. Ketika tanganku dituntunnya aku tahu bahwa aku memiliki segala sesuatu yang kubutuhkan di dalam dia. Kebahagiaan, kedamaian, kasih, sukacita, ketentraman, penghiburan, semuanya mengalir dengan begitu indah. Kami berjalan menyusuri pantai ini. Kami berjalan bersama untuk menemukan tempat baru dimana aku dapat membangun kembali istana pasirku. Di tempat itu juga akan ada ombak. Di tempat itu juga aka nada pasang dan surut. Ah, asalkan aku bersama dia, tak takut aku pada ombak dan tak gentar aku menghadapi pasang.

No comments:

Post a Comment